Info bisnis Terpercaya
- Cara mudah miliki rumah senilai 150juta hanya dengan 5,6juta TANPA RIBA
- Trik membuat aplikasi dengan mudah tanpa programan...
- Belajar bahasa arab sambil bersedekah
- Aplikasi Android Penghasil Pulsa dan Uang Tanpa Batas
- Thema Blogger dan Wordpress Responsif ,Seo terkere...
- Bisnis nyata modal minim untung berjuta-jutaan
- pembuatan aplikasi hingga menghasilkan dollar setiap hari
- Cara membuat Aplikasi Android tanpa kodingan
- Trick Meningkatkan Traffik Pengunjung 10.000 Perhari Secara Alami (www.hatiakuislam.com)
- Khusus pengguna kartu 3 dapatkan pulsa secara gratis tanpa banyak syarat disini
- Aplikasi terbaik untuk mendapatkan pulsa gratis de...
September 25, 2017
Dakwah dari jajahan iblis laknatullah Sekjen PBB berpidato di Sidang Umum PBB. (aljazeera.net) Oleh: Javier Solana (Mantan Perwakilan T...
Kosongnya Kepemimpinan Global: Menakar Peluang Jerman dan Tiongkok
Kosongnya Kepemimpinan Global: Menakar Peluang Jerman dan Tiongkok
Kosongnya Kepemimpinan Global: Menakar Peluang Jerman dan Tiongkok
Dakwah dari jajahan iblis laknatullah
Oleh: Javier Solana (Mantan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri Uni Eropa)
dakwatuna.com –
Doha. Tak dipungkiri, Jerman dan Tiongkok saat ini merupakan negara
besar yang kebijakan ekonominya meresahkan Presiden AS, Donald Trump.
Sementara AS tengah dipusingkan dengan defisit akun terbesar di dunia,
kedua negara tersebut malah menuai surplus terbesar. Ini jelas
mengganggu Trump dan para penasihatnya.
Terkait hal itu, Penasihat Perdagangan di
pemerintahan Trump, Peter Navarro, menyebut Tiongkok tengah bermain
menciptakan nilai mata uang mereka sendiri. Selain itu, secara
mengejutkan Navarro juga menuding Jerman melakukan eksploitasi terhadap
AS dan sekutu Eropa-nya dengan ‘Euro Murah’.
Kebanyakan Ekonom menyebut tuduhan Navarro itu tidak mendasar. Trump sendiri dinilai sering bertindak ‘volatile’
pada isu ini. Bahkan tak jarang berseberangan dengan Navarro. Meskipun
secara umum, para ekonom juga masih mempertanyakan kebijakan mitra
bisnis AS.
Sejak terpilihnya Trump tahun lalu, Jerman
dan Tiongkok termasuk ke dalam negara-negara yang diharapkan mampu
menggantikan AS di kancah kepemimpinan global. Namun, di antara kedua
negara masih terdapat perbedaan yang mendalam. Sejauh ini, belum ada
titik temu terkait kemungkinan bila salah satu dari keduanya
menggantikan posisi AS.
Jika terjadi krisis, baik Kanselir Jerman
Angela Merkel maupun Presiden Tiongkok Xi Jinping, akan mengaitkannya
dengan peristiwa politik internal. Dengan begitu, diharapkan akan
memperkuat posisi kepemimpinan mereka pada tahun-tahun mendatang.
Di Jerman, Merkel lebih diunggulkan untuk
memenangi pemilu pada 24 September kemarin. Jika terwujud, ini menjadi
periode keempat baginya menjabat sebagai Kanselir. Selain itu, ia akan
mengungguli masa jabatan pendahulunya, Helmut Kohl, yang berkuasa selama
16 tahun.
Musim kampanye Jerman seakan berfokus pada
kebijakan ‘Pintu Terbuka’ Merkel terkait krisis pengungsi tahun 2015.
Penerimaan Merkel pada para pengungsi mengundang serangan sengit dari
lawan-lawannya.
Tampaknya, pembelaan pada nilai-nilai
kemanusiaan telah menyerobot dukungan dari mereka yang memilih Merkel di
masa lalu. Hal itu menyebabkan dirinya dan partainya harus mendapatkan
respon keras melalui bilik-bilik suara pada pemilu 2015 lalu. Tapi,
badai ini tampak telah mereda. Faktanya, kebijakan Merkel terkait
pengungsi menguatkan popularitasnya di kalangan pemilih muda.
Pada akhir abad ke-20, mantan Menlu AS, Madeleine Albright, menyebut negaranya sebagai ‘The Basic Nation’. Selang 20 tahun setelahnya, majalah The Economist menyebut Merkel sebagai ‘The European Core’.
Tapi seperti yang Merkel katakan, akan sangat tidak masuk akal jika
dirinya bertanggungjawab dalam menerapkan standar liberalisme
internasional.
Karena faktor sejarah, Jerman sampai saat
ini belum mendapatkan kembali peran utamanya di kancah global. Namun,
untuk skala Eropa, tampaknya Merkel mampu melakukan itu. Periode
keempatnya harus digunakan untuk membentuk sebuah warisan internasional
yang akan mengukur kemampuan politiknya. Keterpilihannya, bersama dengan
Emmanuel Macron, akan menjadi peluang besar untuk melakukan tindakan
yang bertujuan memulihkan keseimbangan dan penguatan Uni Eropa.
Pada saat yang sama, warisan Presiden
Tiongkok (Xi) juga dipertaruhkan. Pada bulan Oktober mendatang, Elit
Politik Tiongkok akan berkumpul pada ajang Kongres Nasional Partai
Komunis Tiongkok ke-19.
Dipastikan, ajang itu akan fokus menyoroti
kinerja Xi. Karena pada tahun lalu, ia telah mendeklarasikan diri
sebagai ‘Pemimpin Utama’ Partai. Sebuah gelar yang belum pernah dicapai
oleh pendahulunya, Hu Jintao.
Pada konferensi tersebut, para delegasi
partai akan memilih komite pusat baru yang akan menduduki jabatan
tertinggi Partai. Selain itu, posisi Xi sebagai Ketua Umum juga akan
ditinjau kembali. Sebagian besar analis berharap Xi tetap memilih sekutu
setia dan menjauh dari pesaing potensial. Hal ini sesuai dengan apa
yang ia lakukan dulu dengan kampanye anti-korupsinya.
Pada tahun 2015 lalu, Wang Qishan – tangan
kanan Xi, mengangkat isu legitimasi Partai Komunis. Isu ini dianggap
tabu pada masa sebelumnya. Seiring dengan melambatnya laju ekonomi
Tiongkok, Partai seakan sadar bahwa tidak dapat lagi mengandalkan
pertumbuhan, semata-mata untuk memastikan status politiknya.
Kampanye anti-korupsi yang dilakukan Xi,
menjadi elemen penting dalam meletakkan legitimasi baru bagi Partai.
Selain itu, Partai juga mempromosikan nasionalisme yang lugas melalui
kebijakan luar negerinya.
Menurut tradisi Partai, ini akan menjadi
periode kedua Xi yang berlangsung selama lima tahun, selain juga periode
terakhirnya. Tapi, kita tidak tahu apakah ia akan menggunakan posisinya
untuk melakukan reformasi ekonomi yang ambisius atau tidak. Sebagaimana
ia juga belum memutuskan apa perannya di Tiongkok pasca tahun 2022.
Pada kancah internasional, Xi telah
menyatakan kesiapannya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS
sebab ‘America First’-nya Trump. Tapi, Tiongkok tidak bisa berharap
banyak selama tidak ada kenaikan signifikan pada kemampuan ‘soft power’-nya.
Krisis Semenanjung Korea yang berlangsung,
akan membuat persaingan strategis AS-Tiongkok di era Trump dan Xi
semakin menguat. Apakah kekuatan lain akan bergabung untuk memastikan
kerja sama negara adikuasa gagal tanpa harapan? Pertanyaan ini akan
terjawab jika sistem internasional mempertahankan sistem apapun yang
dibicarakan di tahun-tahun mendatang.(whc/dakwatuna)
Sumber: Al-Jazeera
About author: kemzot_kartika
Cress arugula peanut tigernut wattle seed kombu parsnip. Lotus root mung bean arugula tigernut horseradish endive yarrow gourd. Radicchio cress avocado garlic quandong collard greens.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment