Dakwah dari jajahan iblis laknatullah Hubungan harmonis dalam masyarakat adalah sumber kejayaan umat. Sebaliknya, perpecahan adalah awal...

Gratifikasi dan Suap! Apakah suap dan gratifikasi adalah tindak pidana yang sama ataukah berbeda? Gratifikasi dan Suap! Apakah suap dan gratifikasi adalah tindak pidana yang sama ataukah berbeda?

Gratifikasi dan Suap! Apakah suap dan gratifikasi adalah tindak pidana yang sama ataukah berbeda?

Gratifikasi dan Suap! Apakah suap dan gratifikasi adalah tindak pidana yang sama ataukah berbeda?

Dakwah dari jajahan iblis laknatullah
Hubungan harmonis dalam masyarakat adalah sumber kejayaan umat. Sebaliknya, perpecahan adalah awal kehancuran umat. Allah berfirman, yang artinya, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
https://files.emailmeform.com/1812346/dCd4sL2p/images.jpg

Syariat mengajarkan berbagai kiat merajut persatuan. Kiat menyuburkan kasih sayang antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya berupa kikil (kaki) kambing.” (HR. At-Turmudzi). Dengan jelas hadis ini menggambarkan fungsi hadiah dalam syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara pemberi dan penerima hadiah.

Hadiah bagi Pejabat

Mencermati dalil tersebut, juga lainnya, dapat disimpulkan, konsep memberi hadiah dalam syariat Islam benar-benar berlatar belakang sosial, tanpa embel-embel komersial. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah, “Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)

Penjelasan tersebut mendorong kita untuk mengoreksi berbagai hadiah, yang kita berikan dan hadiah yang kita terima. Rasa sungkan, keinginan membangun relasi bisnis, dan pengaruh pamprih lain, lebih melandasi seseorang memberi hadiah. Mungkin inilah mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang tak berpangkat dan miskin, walaupun dia patuh beragama. Sebaliknya, berbagai jenis hadiah membanjir ke orang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas ke seorang lelaki untuk memungut sedekah. Tapi utusan itu ternyata menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai melakukan tugasnya, lelaki tersebut berkata, Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.

Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah, Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta, maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam hadis tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah. Hadiah yang diterima karena peran atau jabatan yang seseorang pangku hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ke

0 komentar: