Peserta Korea Muslim Educational Trip (Komet) yang digelar Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) beruntung bisa mendapatkan pengalaman langka itu, saat shalat Jumat di Masjid Itaewon,Seoul, kemarin (25/8). Shalat Jumat di masjid terbesar Negeri Ginseng itu, diikuti oleh jamaah dari berbagai macam ras dan bangsa. Ada orang Arab, Korea, India, Turki, Afrika, termasuk orang Malaysia dan Indonesia. Selain peserta Komet yang terdiri atas pemilik travel, tour leader, dan tour planner, juga terlihat sejumlah orang Indonesia lainnya yang bekerja di Korsel atau sedang melancong.
Wartawan Republika Harun Husein melaporkan dari Seoul, ibukota Korea Selatan, Sabtu (26/8) pagi, saat naik mimbar, khatib muda berwajah Melayu, membuka khutbahnya dengan pengantar seperti halnnya di masjid-masjid di Indonesia dan negara Muslim lainnya, yaitu berbahasa Arab. Namun, saat masuk ke isinya, ternyata diteruskannya dengan bahasa Arab. Suasananya mendadak bak umrah, karena mirip dengan khutbah di masjid-masjid di Makkah, Madinah, atau Jeddah.
Selesai penyampaian khutbah dalam bahasa Inggris, sang khatib kembali membacakan beberapa kalimat dalam bahasa Arab yang lazim untuk menutup khutbah seperti "Alhamdulillah, alhamdulillahi ladzi... dan seterusnya." Kali ini, khutbah seperti benar-benar akan diakhiri. Namun, sang khatib berjubah panjang, tiba-tiba mengucapkan kalimat-kalimat yang terdengar asing disampaikan di masjid. Rupanya, itu adalah materi khutbah dalam bahasa Korea.
Perserta Komet dari Biro Perjalanan Mihrab Qalbi, Ustaz Dadang Khoerudin, mengatakan khutbah Jumat di Masjid Itaewon membuatnya terharu. "Sangat berbeda, sangat terharu. Di sebuah negara yang Muslimnya minoritas, kita bisa shalat bersama dengan saudara-saudara kita dari berbagai bangsa," katanya.
Ustaz Dadang yang selalu menjadi imam shalat dalam kegiatan Komet yang digelar 21-26 Agustus 2017, juga memuji penyampaian khutbah Jumat di Masjid Itaewon. Sebab, meskipun disampaikan dalam tiga bahasa, namun berlangsung ringkas. "Itu karena khatibnya menyampaikan khutbah to the point, tidak bertele-tele. Sehingga, walaupun singkat, pesan yang disampaikannya langsung sampai kepada jamaah," katanya.
Khutbah Jumat trilingual itu rampung dalam waktu sekitar 45 menit. Dan, kendati khutbah disampaikan dalam tiga bahasa, isinya sama.
Usai shalat Jumat, peserta IITCF berkesempatan bertemu dengan pengurus Federasi Muslim Korea (FMK) --yang mengelola Masjid Itaewon sekaligus menerbitkan sertifikasi halal. Dan ternyata, menurut Presiden FMK, Choi Youngkil PhD, sang khatib yang menyampaikan khutbah Jumat trilingual berasal dari Indonesia. "Yang menyampaikan khutbah tadi namanya Iman Baihaqi, dari Indonesia. Dia wakil imam di sini," kata Choi Youngkil, pria asli Korea itu sambil tersenyum.
Ahli studi Islam yang juga guru besar Universita Myongji, Korsel, ini mengungkapkan ada tujuh masjid dan sekitar 100 mushalla di seluruh Korsel. Muslim di negara berpenduduk 49 juta itu, kata dia, berjumlah sekitar 160 ribu orang. "Jumlah warga negara Korea Muslim sekitar 35 ribu orang, 120 ribu lainnya dari negara lain. Muslim pendatang yang paling banyak berasal dari Indonesia, sekitar 40 ribu orang," kata Choi Youngkil saat menerima peserta IITCF di Kantor KMF yang terletak di lantai satu masjid.
Ketua IITCF, Priyadi Abadi, mengatakan kunjungan ke Masjid Itaewon dan pertemuan dengan pimpinan KMF telah dijadwalkan sejak awal. "Walaupun sederhana, kami bersyukur mendapatkan sambutan sangat baik dari mereka, terbukti Presiden KMF yang langsung menyambut IITCF," katanya.
Priyadi mengatakan bahwa IITCF telah memasukkan Masjid Itaewon sebagai tempat yang wajib dikunjungi dalam agenda dan paket-paket wisata halal ke Korsel. Apalagi, lokasi sekitar masjid pun dihuni oleh Muslim, dan banyak berdiri restoran halal, menjadikan kawasan Itaewon tak ubahnya sebuah "Muslim Town" di Korea. "Dengan mengunjungi Masjid Itaewon ini, selain bisa melaksanakan shalat --termasuk shalat Jumat-- kita juga bisa tahu sejarah Islam di Korea, berinteraksi dengan saudara-saudara kita Muslim Korea, dan menikmati kulinernya," katanya.
Menurut Priyadi, tempat ibadah bersejarah seperti masjid -- termasuk Masjid Itaewon -- sangat pantas masuk dalam jadwal tempat yang perlu dikunjungi. "Selama ini, kalau tur ke Eropa, misalnya, travel-travel umum selalu membuat paket yang salah satunya mengunjungi gereja. Seperti paket tur ke Paris yang selalu mengunjungi Notre Dame Cathedral, meskipun semua peserta tur adalah Muslim. Jadi mengapa tidak kita buat tur untuk mengunjungi masjid seperti Masjid Itaewon atau Grand Mosque di Paris," katanya.
sumber : republika.co.id
0 komentar:
Post a Comment