Dakwah dari jajahan iblis laknatullah Di tulisan sebelumnya, saya memposting gambar jamaah sholat yang sempat dikomentari salah satu tem...

Apakah boleh wanita shalat tanpa Mukena ? Apakah boleh wanita shalat tanpa Mukena ?

Apakah boleh wanita shalat tanpa Mukena ?

Apakah boleh wanita shalat tanpa Mukena ?

Dakwah dari jajahan iblis laknatullah
Di tulisan sebelumnya, saya memposting gambar jamaah sholat yang sempat dikomentari salah satu teman kompasianer, mengapa jamaah sholat perempuan itu tidak mengenakan mukena atau pakaian sholat yang lazim dipakai? Apakah sholatnya sah? Padahal dalam tulisan itu saya mengupas tentang kebiasaan para perempuan dalam sholat mereka.

Mukena merupakan baju ’wajib’ yang dikenakan perempuan kita ketika menunaikan sholat. Bahkan kalo tidak memakai mukena, hati rasanya ga tenang, takut kalo ga sah sholatnya. Tapi, percaya atau tidak, mukena adalah bagian dari Urf (tradisi) dan budaya masyarakat Indonesia  dan kaum perempuan muslim di wilayah Asia Tenggara untuk sholat. Lha kok?

Menurut berbagai sumber yang saya baca,  keberadaan mukena  sesungguhnya dilatarbelakangi oleh kultur masyarakat indonesia yang dulu belum tersentuh oleh ’hijab’. Mayoritas perempuan muslim Indonesia dulunya belum  mengenal ’hijab’ atau pakaian syar’i yang diwajibkan dalam Islam. Maka, ketika hendak sholat, mereka ’menciptakan’ busana baru tanpa harus menanggalkan busana yang dipakai dalam keseharian. Maka lahirlah mukena yang disesuaikan dengan syariat; panjang sampai menutup kaki,  longgar, tidak menonjolkan lekuk, memperlihatkan wajah dan telapak tangan yang wajib terlihat dalam sholat, dan umumnya berwarna putih--representasi  ’kesucian ibadah’  dan dulunya hanya ada dua model; pasangan atas-bawahan dan  mukena terusan.

Ketika  belajar Islam lebih dalam, saya baru menyadari bahwa mukena bukan pakaian wajib yang dikenakan dalam sholat. Bahkan, ketika kuliah dulu, lazim melihat teman-teman perempuan saya sholat memakai baju kurung  atau gamis  yang menempel di badan, dengan jilbab longgar hingga menutup dada dan kaus kaki. Sesimpel itu. Dan, maaf, sholatnya tetap sah! Karena tidak ada dalam aturan  Islam manapun yang mensyaratkan sholat harus memakai mukena. Asal bunda memakai pakaian yang longgar yang menutup aurat, dari kepala hingga kaki, memperlihatkan wajah dan telapak tangan, cukuplah memenuhi semua syarat sahnya sholat. Seperti dikuatkan dengan hadist mauquf dari Ummu Salamah :

Dia pernah bertanya kepada Nabi salallaahu 'alaihi wasallam, "Apakah seorang wanita itu boleh sholat dengan mengenakan baju panjang dan penutup kepala tanpa mengenakan kain?" Beliau menjawab, " Boleh, jika baju itu luas yang biasa menutupi kedua punggung telapak kakinya. "(Hadits Mauquf dan Shohih Riwayat Abu Daw).

Ketika kemarin diberi kesempatan berziarah ke Madinah dan Mekkah, saya menikmati pemandangan bagaimana seluruh perempuan di penjuru dunia sholat di Nabawi dan Masjidil Haram dengan pakaian takwa masing-masing yang tentunya disesuaikan dengan budaya setempat, seperti perempuan jazirah Arab dengan abaya mereka, perempuan India dengan kain sari mereka, kaum perempuan Indonesia dan Malaysia dengan mukena kebanggaan mereka. Lucunya, ada beberapa komunitas perempuan yang sholat dengan  kain-kain panjang gelondongan—yang bisa saya taksir panjangnya 3-5 meter X 1,5 meter yang khusus dibeli di penjaja kakilima—yang membuat saya ngakak-ngikik ketika mereka pakai. Kain polosan yang hanya dijulurkan diatas kepala, membelit tubuh sampai kaki. Dan mereka khusyuk beribadah. Subhanallah…

13830230101924919512
Namun begitu, biarpun sholat tetap sah tanpa mukena, jangan coba-coba  sholat dengan memakai jeans atau legging yang ketat atau kerudung pendek. Cara yang aman dan syar’i adalah berkerudunglah yang rapi dan memakai gamis yang longgar atau tetaplah membawa mukena kebanggaan bunda.

penjelasan kedua

Ilustrasi Ilustrasi ( Foto : Irna/Muslimahdaily.com )
Muslimahdaily - Seperti yang sudah diketahui, shalat merupakah tiang dan rukun agama. Selain itu, shalat menjadi penentu dan pembeda bagi orang muslim dengan kaum lain. Dalam shalat, ada beberapa aturan yang harus ditaati salah satunya adalah syarat sah shalat. Bila syarat tersebut tak dipatuhi, maka shalat tersebut dapat dibilang tidak sah. Dalam salah satu syarat sah shalat tertulis bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus menutup auratnya saat sedang shalat.

Sudah sejak lama Indonesia mengenal adanya mukena. Mukena adalah pakaian wanita yang digunakan untuk menutup aurat. Telah menjadi aturan dasar yang diyakini masyarakat Indonesia bahwa muslimah harusnya mengenakan mukena ketika shalat. Sedang fenomena yang terjadi belakangan ini adalah, beberapa di antara muslimah tidak memakai mukena untuk shalat. Bagaimana seharusnya kita memandang kejadian tersebut?

Dalam hal ini, Ustadz Muhammad Irfan Abdul Aziz menjawab, mukena merupakan alat penutup aurat. Alat itu merupakan sarana dan sarana itu menyesuaikan waktu dan ruang, karenanya sangat mungkin berubah, dan sangat mungkin digantikan. Jadi, ketika shalat tidak harus memakai mukena, selama tertutupnya aurat, shalat itu dinilai sah.

Sebuah hadist dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Allah tidak menerima shalat wanita yang telah baligh, kecuali dengan memakai jilbab. (HR. Ahmad)

Perlu digaris bawahi bawa pendapat tersebut menekankan shalat seseorang akan tetap sah walau tidak memakai mukena. Sebagai penggati mukena, dapat digunakan pakaian yang bersih dan menutup aurat muslimah. Tidak ada perbedaan di antara para imam mazhab mengenai hal ini.
Hanya saja terdapat perbedaan mengenai batasan aurat di antaraya:


Pakaian Wanita di dalam Shalat

Di sekitar kita banyak dijumpai wanita shalat mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan, sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena. Terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat, menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat.

Bila ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!”, kita katakan bahwa pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat. Sebab, pakaian itu tidak cukup untuk menutup aurat, padahal ketika shalat wanita tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas)

Terlebih lagi pelarangan—bahkan pengharamannya—ketika pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.

Jika demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?
Masalah pakaian wanita di dalam shalat ini disebutkan dalam beberapa hadits yang marfu’. Namun, kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama.
Di antaranya, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali apabila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya).” (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam at-Talkhisul Habir (2/460), hadits ini dianggap cacat oleh ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai sahabat).
Adapun al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira’[4] dan kerudung tanpa izar[5]?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh), apabila dira’nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 640)

Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ini tidak sahih sanadnya, baik secara marfu’ maupun mauquf, karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, padahal dia adalah rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 161).

Meski demikian, ada riwayat-riwayat yang sahih dari para sahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.

Abdur Razzaq ash-Shan‘ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung.” (al-Mushannaf, 3/128)[6]

Ubaidullah al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira’ dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)[7]

Masih ada atsar lain dalam masalah ini, yang semuanya menunjukkan bahwa shalat wanita dengan mengenakan dira’ dan kerudung adalah perkara yang biasa serta dikenal di kalangan para sahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.
Apabila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat, ia bisa menambahkan izar atau jilbab pada dira’ dan kerudungnya. Ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Dalilnya ialah riwayat dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung, dan izar.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sahih, lihat Tamamul Minnah, hlm. 162)

Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira’ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 100)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira’—pakaian yang sama dengan gamis, namun lebar dan panjang sampai menutupi kedua telapak kaki—kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira’. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Abidah as-Salmani, dan ‘Atha. Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata, ‘Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira’ dan kerudung, apabila ditambahkan pakaian lain, itu lebih baik dan lebih menutup’.” (al-Mughni, 1/351)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian: dira’, kerudung, dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya, kain sarung di bawah dira’, atau sirwal (celana panjang yang lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan milhafah.’

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar, dan dira’. Ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata, ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian apabila ia mendapatkannya, yaitu kerudung, izar, dan dira’.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/322)

Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?

 Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki, dan seluruh tubuhnya kecuali wajah.
Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya, menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (asy-Syarhul Mumti’, 2/165)

Ikrimah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih al-Bukhari, “Kitab ash-Shalah bab Berapa Pakaian yang Boleh Dikenakan Wanita Ketika Shalat”)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira’ dan kerudung, Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’

Ibnul Mundzir juga berkata, ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ rahimahullah bahwasanya ia berkata, [Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan izar], demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin rahimahullah dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab[8].” (Fathul Bari, 1/602—603)

Mujahid dan ‘Atha rahimahumallah pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, apa yang harus dilakukannya?
Mereka menjawab, “Ia berselimut dengannya.”

Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin rahimahullah. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)

Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah

 sumber : http://muslimahdaily.com dan www.kompasiana.com dan http://asysyariah.com

0 komentar: